Jakarta
Membaca peta politik putaran kedua pilgub DKI bisa dilakukan dengan
membaca preferensi pemilih masing-masing kandidat. Foke dinilai memiliki
kekuatan dalam memegang suara politik kaum elit, sementara Jokowi
dianggap mewakili demokrasi rakyat.
Hal itu disampaikan oleh
pengamat politik LIPI, Siti Zuhro usai diskusi �'Mencermati Praktek
Korupsi Pemilukada' di Bumbu Desa, Jl Cikini Raya, Jakpus, Senin
(6/8/2012). Menurut Siti, pertarungan antara Fauzi Bowo dan Joko Widodo
adalah duel yang mempertaruhkan nilai demokrasi di Jakarta.
"Kalau demokrasi masih elitis, maka Foke akan menang. Tetapi kalau civil
society yang bergerak maka kemenangan pilgub DKI bisa jadi milik
Jokowi," ujar Siti.
Demokrasi elitis yang dimaksud adalah pola
kepemimpinan Foke yang memiliki orientasi pemberdayaan di kalangan elit
pemerintahan maupun partai politik. Sementara demokrasi rakyat
mengembalikan kepentingan pemerintahan kepada rakyat.
"Jika
demokrasi dimiliki rakyat, maka uang APBD tidak hanya dinikmati oleh
kalangan elit, tetapi oleh rakyat. Selama ini kan kita tahu Foke itu
sangat elitis, pengelolaan APBD lebih banyak dinikmati kalangan elit,"
tutur Siti.
Tetapi ini adalah era demokrasi partisipatoris,
dimana rakyat memiliki peran utama dalam demokrasi. Maka sebetulnya
pemegangnya adalah rakyat.
"Pilkada DKI harus menjadi role
model bagi �daerah-daerah lain di Indonesia. Maka jangan ada politik
transaksional yang hanya menguntungkan individu dan elit partai. Harus
dikembalikan kepada rakyat, karena otoritas tetinggi milik rakyat,"
ungkapnya
Ia menjelaskan, aalah satu kunci lain yang harus
dicermati adalah tiap kandidat DKI harus kembali bisa meyakinkan bahwa
mereka bisa menyelesaikan permasalahan Jakarta.
"Apakah Jakarta
akan aman di bawah Jokowi, apa jaminan jika Foke dua kali memimpin.
Kalau tidak bisa menjelaskan itu maka runtuh citra yang dibangun selama
ini," kata Siti.
"itu makanya kita perlu �kuliti kedua kandidat agar masyarakat benar-benar tahun kekurangan dan kelebihan," imbuhnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar