Jakarta
Istilah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) bukan suatu hal yang asing bagi
masyarakat Indonesia. Namun belum banyak yang mengenal filosofi di balik
pengenaan PPN. Ditinjau dari ilmu perpajakan PPN termasuk dalam
kategori: (1) pajak objektif, (2) pajak atas konsumsi umum dalam negeri,
dan (3) pajak tidak langsung.
Menurut pakar PPN, Untung
Sukardji, pajak objektif adalah suatu jenis pajak yang saat timbulnya
kewajiban pajak ditentukan oleh faktor objektif, yang disebut taatbestand. Istilah tersebut mengacu kepada keadaan,
peristiwa atau perbuatan hukum yang dapat dikenakan pajak yang juga
disebut dengan objek pajak. PPN sebagai pajak objektif dapat diartikan
sebagai kewajiban membayar pajak oleh konsumen yang terdiri atas orang
pribadi atau badan, dan tidak berkorelasi dengan tingkat penghasilan
tertentu. Siapapun yang mengonsumsi barang atau jasa yang termasuk objek
PPN, akan diperlakukan sama dan wajib membayar PPN atas konsumsi barang
atau jasa tersebut.
Subjek pajak
dalam pengertian pajak objektif adalah konsumen yaitu selaku pihak yang
memikul beban pajak. Dalam pajak objektif kondisi subjektif konsumen
tidak dipertimbangkan untuk menentukan suatu peristiwa hukum terutang
atau diwajibkan membayar pajak. Siapapun konsumennya sepanjang peristiwa
hukum tersebut merupakan objek pajak maka terhadap konsumen tersebut
diwajibkan membayar pajak yang sama.
Hal ini berbeda dengan pajak subjektif, seperti Pajak Penghasilan
(PPh), yang kondisi subjektif pihak yang memikul beban pajak menjadi
bahan pertimbangan dalam menentukan pajak terutang. Contohnya, tarif PPh
bagi Orang Pribadi (OP) berbeda dengan PPh bagi Badan. Demikian pula
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) OP yang menikah dan memiliki
tanggungan anak berbeda dengan OP yang belum menikah.
PPN Sebagai Pajak atas Konsumsi Umum Dalam Negeri
Di samping sebagai pajak objektif, PPN di Indonesia termasuk dalam
kategori pajak atas konsumsi. Ditinjau dari hukum perpajakan, pajak atas
konsumsi adalah pajak yang timbul akibat suatu peristiwa hukum yang
menjadi beban konsumen baik secara yuridis maupun ekonomis. Maksudnya,
yang dikenai pajak adalah barang-barang atau jasa yang dikonsumsi, bukan
barang-barang dalam proses produksi, dan ditujukan pada konsumen akhir.
Selama barang-barang itu masih dalam siklus produksi atau distribusi,
pengenaan PPN pada area itu bersifat sementara yang dapat dibebankan
kepada pembeli berikutnya, melalui mekanisme pengkreditan pajak masukan.
Dalam penjelasan atas Undang-undang PPN, ditegaskan bahwa PPN adalah
pajak atas konsumsi barang dan jasa di dalam daerah pabean yang
dikenakan secara bertingkat pada setiap jalur produksi dan distribusi.
PPN Sebagai Pajak Tidak Langsung
Selanjutnya, selain sebagai pajak objektif dan pajak atas konsumsi, PPN
juga termasuk Pajak Tidak Langsung. Sebagai Pajak Tidak Langsung, beban
pembayaran pajaknya dipikul oleh konsumen, namun penanggung jawab atas
penyetoran PPN ke Kas Negara dibebankan kepada penjual. Dengan kata lain
dalam mekanisme pemungutan PPN, pemikul beban pembayaran PPN dan
penanggungjawab penyetoran PPN ke Kas Negara adalah pihak yang berbeda.
Faktur Pajak yang diterbitkan oleh penjual, digunakan sebagai bukti
pungutan atas PPN terutang, ketika menjual Barang Kena Pajak (BKP) atau
Jasa Kena Pajak (JKP) kepada pembeli atau penerima BKP atau JKP.
Selanjutnya penjual wajib menyetorkan setiap PPN yang dipungut dalam
setiap Masa Pajak ke Kas Negara. Sedangkan kewajiban pembeli adalah
membayar PPN terutang yang tercantum dalam faktur pajak
kepada penjual. Faktur pajak itu bagi pembeli adalah bukti pembayaran
pajak. Hal ini beda dengan mekanisme penarikan Pajak Langsung seperti
PPh, dimana orang pribadi atau badan sebagai pemikul beban pembayaran
pajak juga dibebani tanggung jawab atas penyetorannya ke Kas Negara.
Saat ini, PPN memiliki peranan yang strategis dan signifikan dalam
porsi penerimaan negara dari sektor perpajakan. Penerimaan PPN pada
tahun 2010 adalah sebesar Rp.230,605 triliun, naik menjadi Rp.298,441
triliun pada tahun 2011, dan ditargetkan menjadi Rp.350,343 triliun di
tahun 2012 ini, atau 34% dari total target penerimaan pajak tahun 2012
sebesar Rp.1.019,333 triliun. Pemerintah terus berupaya mencegah
kebocoran penerimaan pajak dari sektor PPN, diantaranya dengan
menerbitkan aturan Registrasi Ulang Pengusaha Kena Pajak
(PKP) di tahun 2012 ini. Kebijakan ini diarahkan untuk mencegah
penerbitan faktur pajak yang tidak sesuai dengan transaksi yang
sebenarnya oleh PKP
yang tidak bertanggungjawab. Hingga saat ini, Ditjen Pajak telah
mencabut status pengukuhan PKP terhadap 202.132 perusahaan. Dengan
kebijakan tersebut, diharapkan masyarakat lebih sadar, peduli serta
mendukung target penerimaan pajak demi kelangsungan pembangunan nasional
dan penyelenggaraan negara. Bangga bayar Pajak!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar