Rabu, 18 Juli 2012

Kasus Buol Buka Tabir Suap Pengusaha pada Pejabat Jelang Pilkada

Kamis, 19/07/2012 11:02 WIB 

Jakarta Selama ini, suap kalangan pengusaha kepada calon pejabat menjelang Pilkada hanya sebatas isu semata. Namun kasus yang terjadi di Buol, Sulawesi Tengah, membuat fenomena itu seolah terbuka dengan jelas.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Bupati Buol Amran Batalipu sebagai tersangka karena diduga menerima suap dari Yani Anshori, General Manager PT Hardaya Inti Plantation. Suap diberikan sebanyak Rp 3 miliar terkait hak guna usaha perkebunan sawit milik PT Citra Cakra Murdaya dan PT Hardaya di Kecamatan Bukal, Buol.

Amran dalam kesaksiannya di KPK, selalu menyebut uang yang diterimanya dari Hardaya Inti Plantation merupakan sumbangan untuk Pilkada yang akan digelar tahun ini. Atas dasar itulah, KPK kemarin memanggil konsultan politik Saiful Mujani yang disewa untuk melakukan survei terhadap popularitas Amran.

Kuasa hukum Amran Batalipu, Amat Entedaim, bahkan menyebut perusahaan milik Hartati Murdaya itu menyebar duit ke semua calon bupati Buol.

Mungkinkah uang yang diterima Amran hanya dari satu pengusaha? Atau apakah fenomena ini hanya terjadi di Buol saja?

Edi Sutrisno, Peneliti Sawit Watch, sebuah LSM yang bergerak dalam mengawasi praktik korupsi di dunia perkebunan menemukan fakta menarik. Fenomena yang terjadi di Buol ini hampir terjadi juga di daerah lain di luar Pulau Jawa.

"Bahkan menjelang Pilkada, biasanya jumlah izin konsensi lahan selalu meningkat," ujar Edi saat berbincang dengan detikcom, Kamis (19/7/2012).

"Sepanjang tahun 2010-2014, ada 20 Pilkada di luar Pulau Jawa. Setiap kabupaten pasti mengeluarkan izin minimal 40 ribu hektar menjelang Pilkada," sambungnya.

Modus berikutnya adalah akal-akalan izin. Kadang lahan untuk perkebunan sudah tidak tersedia, namun izin untuk konsensi masih bisa diberikan.

"Suka bilang kawasan habis, tapi izin masih ada yang nggak dipakai. Itu trik biasanya kalau pejabat baru," beber Edi.

Salah satu temuan tim Edi di wilayah Kalimantan Tengah adalah diobralnya tiga izin konsensi lahan menjelang Pilkada. "Izin itu dibelah-belah menjadi perizinan baru," imbuhnya.

Abet Nego, peneliti di Walhi, bahkan menemukan tarif yang biasanya diterapkan pada para pengusaha untuk konsensi lahan. Dia menyebutkan, untuk seribu hektar lahan dipatok Rp 1 miliar.

"Jadi kalau butuh 10 ribu hektar, tarifnya Rp 10 miliar. Untuk pengusaha itu biasanya masih dalam kategori untung dalam bisnis mereka," terang Abed.

Nah, mungkinkah fenomena ini juga terjadi di Pulau Jawa, termasuk di Pilgub DKI Jakarta? Kita tunggu saja hasil penyelidikan KPK.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar