Kamis, 19/07/2012 11:02 WIB
Jakarta Selama ini, suap kalangan pengusaha kepada
calon pejabat menjelang Pilkada hanya sebatas isu semata. Namun kasus
yang terjadi di Buol, Sulawesi Tengah, membuat fenomena itu seolah
terbuka dengan jelas.
Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Bupati Buol Amran Batalipu
sebagai tersangka karena diduga menerima suap dari Yani Anshori,
General Manager PT Hardaya Inti Plantation. Suap diberikan sebanyak Rp
3 miliar terkait hak guna usaha perkebunan sawit milik PT Citra Cakra
Murdaya dan PT Hardaya di Kecamatan Bukal, Buol.
Amran dalam
kesaksiannya di KPK, selalu menyebut uang yang diterimanya dari Hardaya
Inti Plantation merupakan sumbangan untuk Pilkada yang akan digelar
tahun ini. Atas dasar itulah, KPK kemarin memanggil konsultan politik
Saiful Mujani yang disewa untuk melakukan survei terhadap popularitas
Amran.
Kuasa hukum Amran Batalipu, Amat Entedaim, bahkan
menyebut perusahaan milik Hartati Murdaya itu menyebar duit ke semua
calon bupati Buol.
Mungkinkah uang yang diterima Amran hanya dari satu pengusaha? Atau apakah fenomena ini hanya terjadi di Buol saja?
Edi
Sutrisno, Peneliti Sawit Watch, sebuah LSM yang bergerak dalam
mengawasi praktik korupsi di dunia perkebunan menemukan fakta menarik.
Fenomena yang terjadi di Buol ini hampir terjadi juga di daerah lain di
luar Pulau Jawa.
"Bahkan menjelang Pilkada, biasanya jumlah izin konsensi lahan selalu meningkat," ujar Edi saat berbincang dengan detikcom, Kamis (19/7/2012).
"Sepanjang
tahun 2010-2014, ada 20 Pilkada di luar Pulau Jawa. Setiap kabupaten
pasti mengeluarkan izin minimal 40 ribu hektar menjelang Pilkada,"
sambungnya.
Modus berikutnya adalah akal-akalan izin. Kadang
lahan untuk perkebunan sudah tidak tersedia, namun izin untuk konsensi
masih bisa diberikan.
"Suka bilang kawasan habis, tapi izin masih ada yang nggak dipakai. Itu trik biasanya kalau pejabat baru," beber Edi.
Salah
satu temuan tim Edi di wilayah Kalimantan Tengah adalah diobralnya tiga
izin konsensi lahan menjelang Pilkada. "Izin itu dibelah-belah menjadi
perizinan baru," imbuhnya.
Abet Nego, peneliti di Walhi, bahkan
menemukan tarif yang biasanya diterapkan pada para pengusaha untuk
konsensi lahan. Dia menyebutkan, untuk seribu hektar lahan dipatok Rp 1
miliar.
"Jadi kalau butuh 10 ribu hektar, tarifnya Rp 10 miliar.
Untuk pengusaha itu biasanya masih dalam kategori untung dalam bisnis
mereka," terang Abed.
Nah, mungkinkah fenomena ini juga terjadi
di Pulau Jawa, termasuk di Pilgub DKI Jakarta? Kita tunggu saja hasil
penyelidikan KPK.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar